DPRK Aceh Barat soroti aktivitas dua perusahaan tambang

Meulaboh (Aentenews) – Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat menyoroti aktivitas dua perusahaan tambang yang beroperasi di daerah itu, PT Megalenic Garuda Kencana (MGK) dan PT Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA).
Pembahasan aktivitas pertambangan itu mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) sejumlah pihak terkait yang dipimpin Ketua DPRK Aceh Barat Siti Ramazan di ruang rapat DPRK setenpat di Meulaboh, Rabu.
Siti Ramazan menegaskan RDP kali ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, dengan tujuan menggali informasi lebih detail, mendengarkan aspirasi masyarakat, serta memperkuat sinergi antara DPRK, pemerintah daerah, dan instansi teknis.
“Melalui forum ini kita berharap isu-isu strategis yang belum tuntas pada pertemuan lalu dapat memperoleh solusi yang konkret,” ungkapnya.
Perwakilan Aliansi Masyarakat Sibak Krueng Woyla menyampaikan keberatan atas aktivitas PT MGK. Mereka menilai perusahaan telah melanggar sejumlah aturan serta tidak memberikan manfaat nyata kepada masyarakat sekitar.
“Sudah dilakukan penelitian, terbukti tidak ada tenaga kerja lokal yang diberdayakan, dan banyak hal lain yang menyalahi aturan. Ini sebenarnya tinggal soal keberanian mengambil keputusan,” tegas salah seorang perwakilan warga.
Kemudian Perwakilan Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I mengingatkan bahwa aktivitas penambangan di alur sungai memiliki aturan ketat. Berdasarkan keputusan Menteri PU Nomor 458/1986 dan juknis Dirjen Pengairan 176/Kpts/1987, terdapat lokasi-lokasi yang dilarang ditambang, termasuk tikungan luar sungai karena berpotensi menimbulkan longsoran tebing.
“Hingga saat ini kami belum menerima permohonan rekomendasi teknis dari PT MGK. Padahal dokumen tersebut wajib sebelum melakukan pengambilan material,” ujar perwakilan BWS.
Kepala Dinas ESDM Aceh menjelaskan, pihaknya sempat meninjau lapangan dan menemukan aktivitas pengerukan menggunakan kapal keruk di badan sungai. Namun, pihaknya belum dapat memastikan dampak alat yang digunakan, karena dokumen teknis belum lengkap.
“Alasan kami menghentikan sementara adalah kekhawatiran aktivitas ini dapat merusak pola aliran sungai. Kami butuh rekomendasi resmi dari Balai Sungai agar jelas batasan kedalaman dan teknis pengelolaannya,” terang Kadis ESDM.
Ketua Tim Pansus DPRK Aceh Barat, Ramli, SE, mengungkapkan sejumlah temuan di lapangan, termasuk dugaan penggunaan rumah dinas di Kecamatan Sungai Mas oleh pihak perusahaan. Ia juga menyinggung minimnya kontribusi tenaga kerja lokal dan dampak lingkungan yang sudah mulai terlihat.
“Kami tidak anti investasi, tapi jangan sampai masyarakat hanya menerima kerusakan tanpa manfaat. Fakta di lapangan, aliran sungai sudah mulai terkikis. Ini harus kita sikapi serius,” ujarnya.
Anggota DPRK Aceh Barat, Ahmad Yani, menyoroti ketimpangan antara hasil kekayaan alam dengan kesejahteraan masyarakat.
Kami hanya jadi daerah penghasil, tapi bukan lumbung pembangunan. CSR minim, tenaga kerja seadanya, sementara kerusakan lingkungan besar. Yang dituntut masyarakat bukan CSR, tapi kembalikan sungai Krueng Woyla seperti semula,” katanya.
Ketua Komisi II DPRK Aceh Barat, Said, juga menegaskan keberatan bila aktivitas tambang dilakukan di badan sungai.
“Kalau menambang di darat masih bisa dikendalikan, misalnya dengan membuat kolam limbah. Tapi kalau langsung di sungai, limbah akan langsung mencemari aliran air yang digunakan puluhan ribu rumah tangga,” ujarnya.
Pewarta Aceh Barat/Nagan Raya : RIO